Infolinks In Text Ads

Trafic

Search This Blog

Datos personales

purwokerto, jawa tengah, Indonesia

My Blog List

Monday, March 29, 2010

AnggRek

a. asli dari gunung ungaran jatenng Selengkapnya...

AnggRek

yang satu ini unik banget yah?????

aslinya dari borneo......


lah ini yang bener-bener asli purwokerto dapat ditemui dimana ajah tumbuh liar di pohon-pohon.............






ne jabar punya








dari gunung ungaran loh













Selengkapnya...

makalah

BAB I
PENDAHULUAN

Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang paling mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini.
Banyak orang menganggap bahwa governance adalah konsep yang datang dari Barat, maka governance dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Christoper Bennet dalam diskusi keempat secara jelas mengatakan bahwa governance hanyalah sebuah kata yang dapat dicarikan padanan-nya dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan kata dalam bahasa Indonesia maka pengertian governance akan lebih mudah dipahami. Dan jelas bahwa governance bukan sebuah konsep barat, bahkan ciri-ciri good governance sendiri secara faktual ada pada budaya masyarakat Indonesia
Kata governance dalam bahasa inggris sering di artikan dengan tata kelola atau pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian dari negara.
Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Pemahaman umum tentang good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan semakin populer pada era tahun 2000-an. Kepemeritahan yang baik banyak diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World Bank, Asean Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah.
Dalam good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.

Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah memiliki instrumen khusus berupa kewenangan yang disebut freies ermessen atau pouvoir discretionnaire. Freies ermessen ini pada hakekatnya adalah sebuah kekuasaan atau kewenangan bebas yang diberikan kepada pemerintah dengan maksud agar dapat berperan lebih aktif dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Namun hal ini memiliki kelemahan fundamental yakni kemungkinan terjadinya perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Untuk itu, guna mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat diperlukan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar etika berpemerintahan.








BAB II
ISI

1. Good Government Governance
• Pengertian Good Government Governance
Terminologi Good Governance (GG) dalarn bahasa dan pemahaman masyarakat termasuk disebagian elite politik, sering rancu. Setidaknya ada tiga terminologi yang sering rancu yaitu Good Governance (tata pemerintahan yang balk), Good Goverment (Pemerintahan yang balk), dan clean governance (pernerintahan yang bersih). Good Governance menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola berbagai sumberdaya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (The way state power is used in managing economic and social resources for development of society).
World Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sementara United Nation Development Program ( UNDP ) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Mardiasmo dalam bukunya akunting sektor publik mendefinisikan pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. ( Mardiasmo, Tahun : 2002, hal : 17 )

Dari definisinya World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan admninistratif dalam pengelolaan negara. Jika mengacu pada program World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian Good Governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik.
• Teori-teori Terkait GGG
Dua teori utama yang terkait dengan GGG adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model. Bertentangan dengan stewardship theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Dengan demikian, “managers could not be trusted to do their job – which of course is to maximize shareholder value’ (Tricker, Opcit).Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai Government governance berkembang dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan pemerintah harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku
• Prinsip-Prinsip Good Governance
a. Partisipasi : Setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b. Aturan Hukum (Rule of Law) : Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tanpa memihak kepada siapapun (impartially), terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia.
c. Transparansi : Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.
d. Daya Tanggap (Responsiveness) : Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) : Pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
f. Berkeadilan (Equity) : Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) : Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas (Accountability) : Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
i. Bervisi Strategis (Strategic Vision) : Para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kultural, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.
j. Saling Keterkaitan (Interrelated) : bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaanya. Dan kelembagaan yang responsif haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan.
• Pilar-Pilar Good Governance
a. Pemerintah
Yang berfungsi dalam hal :
o Regulasi/pembuatan kebijakan publik;
o Pengendalian dan pengawasan publik;
o Pelindungan dan pengayoman masyarakat dan swasta;
o Fasilitasi kepentingan negara dan publik;
o Pelayanan kepentingan publik.
b. Masyarakat
Yang berfungsi dalam hal :
o Posisinya sebagai subjek sekaligus objek (parsitipator) bagi penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh Negara/ Pemerintah dan Swasta;
o Pengontrol terhadap kinerja Pemerintah dan Swasta.
c. Swasta
Yang berfungsi dalam hal :
o Penggerakan aktivitas bidang ekonomi;
o Penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan bangsa;
o Penyelenggaraan usaha-usaha perindustrian dan perdagangan;
o Penyelenggaraan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
• Faktor Penjamin Good Governance
o Ideologi yang rasional.
o Konstitusi yang modern.
o Demokrasi yang konstitusional.
o Pemilu yang bebas.
o Multiparpol.
o Legislatif yang representatif.
o Eksekutif yang legitimatif.
o Yudikatif yang merdeka.
o Kontrol publik.
o Kontrol internasional.
o Kualitas SDM.

• Tantangan Pelayanan Publik dalam Penerapan Good Governance
a. Negara atau pasar
Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara (state-centred approach), dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaum kanan baru (the New Right) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.
b. Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?
Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak penyedia (providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyedia memungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan buat mengikat para pengguna.Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurut Andrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila persetujuan itu dilanggar (Rajiv Prabhakar, 2006 : 33). Dalam hal ini, pengguna biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson, pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalam virtue, unsur kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.
c. Warga atau Konsumen ?
Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukan sebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilai yang mendasari pandangan ini.Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagai warga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia. Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknya karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
d. Public good atau Private good
Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006), dalam logika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhan masyarakat. Setiap barang adalah “private good” yang bercirikan rivalry (setiap barang diperebutkan oleh banyak orang sehingga setiap orang adalah rival bagi lainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhi kontrak). Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai private good ditolak oleh oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggap sebagai public good, karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbeda dengan private good, public good bercirikan non-rivalry dan non-excludable.
• E-Government to Good Government governance
Berdasarkan definisi dari World Bank, e-Government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah (seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org). Dalam prakteknya,eGovernment adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Secara ringkas tujuan yang ingin dicapai dengan implementasi e-Government adalah untuk menciptakan customer online dan bukan in-line. E-Government bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik dan sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana. Selain itu eGovernment juga bertujuan untuk mendukung good governance. Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. eGovernment dapat memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah. eGovernment juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun konsep dari eGovernment adalah menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan dan murah antara pemerintah dan masyarakat (G2C-government to citizens), pemerintah dan perusahaan bisnis (G2B-government to business enterprises) dan hubungan antar pemerintah (G2G-inter-agency relationship).

2. Akuntabilitas Publik
• Pengertian Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.
Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.
• Dimensi Akuntabilitas Publik
a. Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk.
b. Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
c. Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
• Cara Menegakan akuntabilitas
a. Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
b. Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
c. Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
d. Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
e. Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
f. Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya.
• Hambatan Pencapaian Akuntabilitas
o PERCEPTION GAP BETWEEN POPULAR WILL AND ADMINISTRATION
Walaupun keinginanmasyarakatdapat tersalur melalui Berbagai media,kadang-kadang sasarannya tidak Teridentifikasi karena gangguan komunikasi, atau karena Perilaku kritis yang tradisional mass media kepada birokrat
o INTERPRETATION GAP AMONG ADMINISTRATION
konservativisme baik dikalangan pegawai maupun masyarakat, ditambah lagi dengan Perkembangan teknologi yang belum terimbangi, Menyebabkan Adanya perbedaan interpretasi
o ACCES GAP TO ADMINISTRATIVE INFORMATION
Pemberian kebebasan akses Informasi menyebabkan masalah proteksi Masalah pribadi.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas jelas bahwa pemerintahan Dengan memperhatikan berbagai kriteria yang dikaitkan dengan pelaksanaan good governance dan telah ditetapkannya berbagai kebijakan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global, regional, nasional, dan lokal, yang perlu dilaksanakan adalah evaluasi dari berbagai peraturan yang ada dengan disandingkannya dengan kriteria good governance dan kebijakan pembangunan berkelanjutan agar good governance benar-benar tercapai.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi akuntabilitas yang perlu segera diperbaiki agar gtercapai good government governance.





Daftar Pustaka

Di akses tanggal 17 januari 2010,
http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050577/jurnal-akuntansi-pemerintah/pewujudan-transparansi-dan-akuntabilitas-publik-melalui-akuntansi-sektor-publik/akuntabilitas-publik-transparansi.html
http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id12.html
http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/gogo_all.pdf
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/brapub/4Responsivitas%20&%20Akuntabilitas%20Sektor%20Publik-Bambang%20Supri%85.pdf
http://www.osun.org/makalah+good+government-pdf-2.html
http://rudyct.com/PPS702-ipb/10245/kusmayadi.pdf
http://www.skripsi-tesis.com/07/05/good-governance-pada-pemerintah-provinsi-diy-pdf-doc.htm
Selengkapnya...

makalah


BAB I
PENDAHULUAN


Wacana tentang good governance atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang paling mengemuka belakangan ini. Tuntutan masyarakat agar pengelolaan negara dijalankan secara amanah dan bertanggung jawab adalah sejalan dengan keinginan global masyarakat internasional pada saat ini.
Banyak orang menganggap bahwa governance adalah konsep yang datang dari Barat, maka governance dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Christoper Bennet dalam diskusi keempat secara jelas mengatakan bahwa governance hanyalah sebuah kata yang dapat dicarikan padanan-nya dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan kata dalam bahasa Indonesia maka pengertian governance akan lebih mudah dipahami. Dan jelas bahwa governance bukan sebuah konsep barat, bahkan ciri-ciri good governance sendiri secara faktual ada pada budaya masyarakat Indonesia
Kata governance dalam bahasa inggris sering di artikan dengan tata kelola atau pengelolaan dengan kata dasar to govern yang bermakna memerintah. “Memerintah” diartikan sebagai menguasai atau mengurus negara atau mengurus daerah sebagai bagian dari negara.
Dari istilah tersebut diatas dapat diketahui bahwa istilah governance tidak hanya berarti sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan.
Pemahaman umum tentang good governance mulai mengemuka di Indonesia sejak tahun 1990-an dan semakin populer pada era tahun 2000-an. Kepemeritahan yang baik banyak diperkenalkan oleh lembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri seperti World Bank, Asean Development Bank, IMF maupun lembaga-lembaga pemberi pinjaman lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Good governance dijadikan aspek pertimbangan lembaga donor dalam memberikan pinjaman maupun hibah.
Dalam good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan pegawai negeri. Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas secara filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada seseorang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.

Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah memiliki instrumen khusus berupa kewenangan yang disebut freies ermessen atau pouvoir discretionnaire. Freies ermessen ini pada hakekatnya adalah sebuah kekuasaan atau kewenangan bebas yang diberikan kepada pemerintah dengan maksud agar dapat berperan lebih aktif dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan demi kesejahteraan masyarakat. Namun hal ini memiliki kelemahan fundamental yakni kemungkinan terjadinya perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Untuk itu, guna mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat diperlukan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar etika berpemerintahan.


BAB II
ISI

1. Good Government Governance
• Pengertian Good Government Governance
Terminologi Good Governance (GG) dalarn bahasa dan pemahaman masyarakat termasuk disebagian elite politik, sering rancu. Setidaknya ada tiga terminologi yang sering rancu yaitu Good Governance (tata pemerintahan yang balk), Good Goverment (Pemerintahan yang balk), dan clean governance (pernerintahan yang bersih). Good Governance menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola berbagai sumberdaya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (The way state power is used in managing economic and social resources for development of society).
World Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sementara United Nation Development Program ( UNDP ) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Mardiasmo dalam bukunya akunting sektor publik mendefinisikan pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. ( Mardiasmo, Tahun : 2002, hal : 17 )

Dari definisinya World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan admninistratif dalam pengelolaan negara. Jika mengacu pada program World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian Good Governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik.
• Teori-teori Terkait GGG
Dua teori utama yang terkait dengan GGG adalah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ‘agents’ bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model. Bertentangan dengan stewardship theory, agency theory memandang bahwa manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya. Dengan demikian, “managers could not be trusted to do their job – which of course is to maximize shareholder value’ (Tricker, Opcit).Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respons lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai Government governance berkembang dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan pemerintah harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku
• Prinsip-Prinsip Good Governance
a. Partisipasi : Setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b. Aturan Hukum (Rule of Law) : Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tanpa memihak kepada siapapun (impartially), terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia.
c. Transparansi : Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.
d. Daya Tanggap (Responsiveness) : Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) : Pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
f. Berkeadilan (Equity) : Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) : Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas (Accountability) : Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
i. Bervisi Strategis (Strategic Vision) : Para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek historis, kultural, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.
j. Saling Keterkaitan (Interrelated) : bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaanya. Dan kelembagaan yang responsif haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan.
• Pilar-Pilar Good Governance
a. Pemerintah
Yang berfungsi dalam hal :
o Regulasi/pembuatan kebijakan publik;
o Pengendalian dan pengawasan publik;
o Pelindungan dan pengayoman masyarakat dan swasta;
o Fasilitasi kepentingan negara dan publik;
o Pelayanan kepentingan publik.
b. Masyarakat
Yang berfungsi dalam hal :
o Posisinya sebagai subjek sekaligus objek (parsitipator) bagi penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh Negara/ Pemerintah dan Swasta;
o Pengontrol terhadap kinerja Pemerintah dan Swasta.
c. Swasta
Yang berfungsi dalam hal :
o Penggerakan aktivitas bidang ekonomi;
o Penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan bangsa;
o Penyelenggaraan usaha-usaha perindustrian dan perdagangan;
o Penyelenggaraan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
• Faktor Penjamin Good Governance
o Ideologi yang rasional.
o Konstitusi yang modern.
o Demokrasi yang konstitusional.
o Pemilu yang bebas.
o Multiparpol.
o Legislatif yang representatif.
o Eksekutif yang legitimatif.
o Yudikatif yang merdeka.
o Kontrol publik.
o Kontrol internasional.
o Kualitas SDM.

• Tantangan Pelayanan Publik dalam Penerapan Good Governance
a. Negara atau pasar
Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara (state-centred approach), dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaum kanan baru (the New Right) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.
b. Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?
Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak penyedia (providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyedia memungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan buat mengikat para pengguna.Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurut Andrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila persetujuan itu dilanggar (Rajiv Prabhakar, 2006 : 33). Dalam hal ini, pengguna biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson, pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalam virtue, unsur kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.
c. Warga atau Konsumen ?
Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukan sebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilai yang mendasari pandangan ini.Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagai warga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia. Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknya karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
d. Public good atau Private good
Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006), dalam logika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhan masyarakat. Setiap barang adalah “private good” yang bercirikan rivalry (setiap barang diperebutkan oleh banyak orang sehingga setiap orang adalah rival bagi lainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhi kontrak). Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai private good ditolak oleh oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggap sebagai public good, karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbeda dengan private good, public good bercirikan non-rivalry dan non-excludable.
• E-Government to Good Government governance
Berdasarkan definisi dari World Bank, e-Government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah (seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. (www.worldbank.org). Dalam prakteknya,eGovernment adalah penggunaan Internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Secara ringkas tujuan yang ingin dicapai dengan implementasi e-Government adalah untuk menciptakan customer online dan bukan in-line. E-Government bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik dan sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana. Selain itu eGovernment juga bertujuan untuk mendukung good governance. Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. eGovernment dapat memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah. eGovernment juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun konsep dari eGovernment adalah menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan dan murah antara pemerintah dan masyarakat (G2C-government to citizens), pemerintah dan perusahaan bisnis (G2B-government to business enterprises) dan hubungan antar pemerintah (G2G-inter-agency relationship).

2. Akuntabilitas Publik
• Pengertian Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.
Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.
• Dimensi Akuntabilitas Publik
a. Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk.
b. Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
c. Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
• Cara Menegakan akuntabilitas
a. Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
b. Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
c. Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
d. Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
e. Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
f. Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya.
• Hambatan Pencapaian Akuntabilitas
o PERCEPTION GAP BETWEEN POPULAR WILL AND ADMINISTRATION
Walaupun keinginanmasyarakatdapat tersalur melalui Berbagai media,kadang-kadang sasarannya tidak Teridentifikasi karena gangguan komunikasi, atau karena Perilaku kritis yang tradisional mass media kepada birokrat
o INTERPRETATION GAP AMONG ADMINISTRATION
konservativisme baik dikalangan pegawai maupun masyarakat, ditambah lagi dengan Perkembangan teknologi yang belum terimbangi, Menyebabkan Adanya perbedaan interpretasi
o ACCES GAP TO ADMINISTRATIVE INFORMATION
Pemberian kebebasan akses Informasi menyebabkan masalah proteksi Masalah pribadi.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas jelas bahwa pemerintahan Dengan memperhatikan berbagai kriteria yang dikaitkan dengan pelaksanaan good governance dan telah ditetapkannya berbagai kebijakan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global, regional, nasional, dan lokal, yang perlu dilaksanakan adalah evaluasi dari berbagai peraturan yang ada dengan disandingkannya dengan kriteria good governance dan kebijakan pembangunan berkelanjutan agar good governance benar-benar tercapai.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi akuntabilitas yang perlu segera diperbaiki agar gtercapai good government governance.





Daftar Pustaka

Di akses tanggal 17 januari 2010,
http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050577/jurnal-akuntansi-pemerintah/pewujudan-transparansi-dan-akuntabilitas-publik-melalui-akuntansi-sektor-publik/akuntabilitas-publik-transparansi.html
http://kskkp.tripod.com/kelompokstudikeuangandankebijakanpublik/id12.html
http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/gogo_all.pdf
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/brapub/4Responsivitas%20&%20Akuntabilitas%20Sektor%20Publik-Bambang%20Supri%85.pdf
http://www.osun.org/makalah+good+government-pdf-2.html
http://rudyct.com/PPS702-ipb/10245/kusmayadi.pdf
http://www.skripsi-tesis.com/07/05/good-governance-pada-pemerintah-provinsi-diy-pdf-doc.htm Selengkapnya...

akuntansi syariah


Definisi:

Murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut kepada pembeli.

Biaya perolehan adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan untuk memperoleh suatu aset sampai dengan aset tersebut dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau digunakan.

Aset murabahah adalah aset yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dengan menggunakan akad murabahah.

Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pembeli kepada penjual sebagai bukti komitmen untuk membeli barang dari penjual.

Diskon murabahah adalah pengurangan harga atau penerimaan dalam bentuk apapun yang diperoleh lembaga keuangan syariah sebagai pihak pembeli dari pemasok.

Potongan murabahah adalah pengurangan kewajiban pembeli akhir yang diberikan oleh lembaga keuangan syariah sebagai pihak penjual.

Karakteristik:

· Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli.

· Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam murabahah pesanan mengikat, mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad.

· Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.

· Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akakd murabahah dilakukan. Namun juka akad tersebut telah disepakati maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.

· Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual mendapatkan diskon sebelum akad murabahah maka potongan itu merupakan hak pembeli. Sedangkan diskon yang diterima setelah akad murabahah disepakati maka sesuai dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam akad maka potongan tersebut adalah hak penjual.

· Diskon yang terkait dengan pembelian barang, antara lain meliputi: (a) diskon dalam bentuk apapun dari permasok atas pembelian barang; (b) diskon biaya asuransi dari perusahaan asuransi dalam rangka pembelian barang; dan (c) komisi dalam bentuk apapun yang diterima terkait dengan pembelian barang;

· Diskon atas pembelian barang yang diterima setelah akad murabahah disepakati diperlakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Jika akad tidak mengatur maka diskon tersebut menjadi hak penjual.

· Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan atas piutang murabahah, antar lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual.

· Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembelian sebelum akad disepakati. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika akad murabahah disepakati. Jika akad murabahah batal, uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli.

· Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, penjual berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa pembeli tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat pembeli lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana kebajikan.

· Penjual boleh memberikan potongan dapa saat pelunasan piutang murabahah jika pembeli: (a) melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu; atau (b) melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati.

· Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi jika pembeli: (a) melakukan pembayaran cicilan tepat waktu; dan atau (b) mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN

Akuntansi untuk Penjual.

· Pada saat perolehan, aset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan.

· Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut;

(a) jika murabahah pesanan mengikat:

(i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan

(ii) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset;

(b) jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat:

(i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan

(ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian;

· Potongan pembelian aset murabahah diakui sebagai berikut:

(a) jika terjadi sebelum akad murabahah maka sebagai pengurang biaya perolehan aset murabahah;

(b) jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati maka bagian yang menjadi hak nasabah:

(i) dikembalikan kepada nasabah jika nasabah masih berada dalam proses penyelesaian kewajiban; atau

(ii) kewajiban kepada nasabah jika nasabah telah menyelesaiakan kewajiban;

(c) jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang menjadi bagian hak lembaga keuangan syariah diakui sebagai tambahan keuntungan murabahah;

(d) jika terjadi tambahan akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad diakui sebagai pemdapatan operasi lain.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN SALAM DAN SALAM PARALEL

Karakteristik

Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan pengiriman oleh muslam ilaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Bank (LKS/LES) dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam, maka hal ini disebut salam paralel.

Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:

(a) akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir; dan

(b) akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal bank bertindak sebagai pembeli, bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan bank.

Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat maka penjual harus bertanggungjawab atas kelalaiannya.

Bank sebagai Pembeli

Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual. Modal uasaha salam dapat berupa kas atau aktiva non-kas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan; sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aktiva non-kas diukur sebesar nilai wajar (nilai yang disepakati antara bank dan nasabah).

Penerimaan barang pesanan diakui dan diukur sbb.:

(a) jika barang pesanan sesuai dengan akad, dinilai sesuai nilai yang disepakati;

(b) jika barang pesanan berbeda kualitasnya, maka:

(1) barang pesanan yang diterima diukur sesuai nilai dengan nilai akad, jika nilai pasar (nilai wajar jika nilai pasar tidak tersedia) dari barang pesanan yang diterima nilainya sama atau lebih tinggi dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad;

(2) barang pesanan yang diterima diukur sesuai nilai pasar (nilai wajar jika nilai pasar tidak tersedia) pada saat diterima dan selisihnya diakui sebagai kerugian, jika nilai pasar dari barang pesanan lebih rendah dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad;

(c) jika bank tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan pada tanggal jatuh tempo pengiriman, maka:

(1) jika tanggal pengiriman diperpanjang, nilai tercatat piutang salam sebesar bagian yang belum dipenuhi tetap sesuai dengan nilai yang tercantum dalam akad;

(2) jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya, maka piutang salam berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh nasabah sebesar bagian yang tidak dapat dipenuhi;

(3) jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan bank mempunyai jaminan atas barang pesanan serta hasil penjualan jaminan tersebut lebih kecil dari piutang salam, maka selisih antara nilai tercatat piutang salam dan hasil penjualan jaminan tersebut diakui sebagai piutang kepada nasabah yang telah jatuh tempo. Sebaliknya, jika hasil penjualan jaminan tersebut lebih besar dari nilai tercatat piutang salam maka selisihnya menjadi hak nasabah; dan

(4) bank dapat mengenakan denda kepada nasabah; denda hanya boleh dikenakan kepada nasabah yang mampu menunaikan kewajibannya, tetapi tidak memenuhinya dengan sengaja. Hal ini tidak berlaku bagi nasabah yang tidak mampu menunaikan kewajibannya karena force majeur.

Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode pelaporan keuangan, persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar nilai terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi (COMWIL). Apabila nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Bank sebagai Penjual

Hutang salam diakui pada saat bank menerima modal uasaha salam sebesar modal usaha salam yang diterima. Modal usaha salam yang diterima dapat berupa kas atau aktiva non-kas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima; sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aktiva non-kas diukur sebesar nilai wajar (nilai yang disepakati antara bank dan nasabah)

Bank melakukan salam paralel

Apabila bank melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah yang dibayar oleh nasabah dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat pengiriman barang pesanan oleh bank ke nasabah.

Transaksi

Penjual (Supplier)

Pembeli (Pemesan)

1. Pemesanan Barang; pembayaran di muka

KAS/ASET xxx : Rp. xxx -------

HUTANG SALAM : ------ Rp xxx

PIUTANG SALAM : Rp. xxx -------

KAS/ASET xxx : ------ Rp xxx

2. Supplier membeli barang pesanan

BARANG SALAM : Rp. xxx -----

KAS : ------- Rp xxx

Tidak menjurnal

3. Penyerahan barang ke pembeli/pemesan; sekaligus penyelesaian pembayarannya.

HUTANG SALAM : Rp. xxx ------

KAS : Rp. xxx ------

PENJUALAN SALAM : ------ Rp xxx

BARANG : Rp. xxx -----

PIUTANG SALAM : ------- Rp. xxx

KAS : ------- Rp xxx

HPP : Rp. xxx ------

BARANG SALAM : ------ Rp. xxx

Salam Paralel à Bank Syariah merangkan fungsi sebagai “penjual” sekaligus “pembeli”. Menjual kepada pemesan, membeli dari supplier, keduanya secara salam.

ISTISHNA DAN ISTISHNA PARALEL

Karakteristik

Ishtisna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani (produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembeyaran dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.

Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan produsen/penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.

Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan produsen/penjual. Jika barang pesanan yang dikirim salah atau cacat maka produsen/penjual harus bertanggungjawab atas kelalaiannya.

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna. Jika bank bertindak sebagai penjual, kemudian memesan kepada pihak lain (subpkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna juga, maka hal ini disebut sebagai istishna paralel. Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat: (a) akad kedua antara bank dengan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dengan pembeli akhir; dan (b) akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Pada dasarnya istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali: (a) kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau (b) akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen/penjual atas: (a) jumlah yang telah dibayarkan; dan (b) penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu. Sebaliknya, produsen juga mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa harga yang disepakati akan dibayar tepat waktu. Pemindahan kepemilikan barang pesanan dari produsen/penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan sebesar jumlah yang disepakati.

Bank sebagai Produsen/Penjual

Pengakuan dan pengukuran biaya istishna adalah sbb.:

a. biaya istishna terdiri dari:

(i) biaya langsung, terutama biaya untuk menghasilkan barang pesanan; dan

(ii) biaya tidak langsung yang berhubungan dengan akad (termasuk biaya pra-akad) yang dialokasikan secara obyektif;

b. beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan pengembangan tidak termasuk dalam biaya istishna;

c. biaya pra-akad diakui sebagai biaya ditangguhkan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna jika akad ditandatangani, tetapi jika akad tidak ditandatangani, maka biaya tersebut dibebankan pada periode berjalan; dan

d. biaya istishna yang terjadi selama periode laporan keuangan, diakui sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat terjadinya.

Pengakuan dan pengukuran biaya istishna paralel adalah sbb.:

a. biaya istishna paralel terdiri dari:

(i) biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan sub-kontraktor kepada bank;

(ii) biaya tidak langsung yang berhubungan dengan akad (termasuk biaya pra-akad) yang dialokasikan secara obyektif; dan

(iii) semua biaya akibat sub-kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya, jika ada;

b. biaya istishna paralel diakui sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat diterimanya tagihan dari sub-kontraktor sebesar jumlah tagihan;

Tagihan setiap termin dari bank kepada pembeli akhir diakui sebagai piutang istishna dan sebagai termin istishna (istishna billing) pada pos lawannya.

Pengakuan Pendapatan dann Keuntungan Istishna dan Istishna Paralel

Pendapatan istishna adalah total harga yang disepakati dalam akad antara bank dan pembeli akhir, termasuk marjin keuntungan. Marjin keuntungan adalah selisih antara pendapatan istishna dan harga pokok istishna. Pendapatan istishna diakui dengan menggunakan metode persentase penyelesaian atau metode akad selesai.

Jika metode persentase penyelesaian digunakan, maka:

  1. bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dalam periode tersebut dakui sebagai pendapatan istishna pada periode yang bersangkutan;
  2. bagian marjin keuntungan istishna yang diakui selama periode pelaporan ditambahkan kepada aktiva istishna dalam penyelesaian; dan
  3. pada akhir periode harga pokok istishna diakui sebesar biaya istishna yang telah dikeluarkan sampai dengan periode tersebut.

Jika estimasi persentase penyelesaian akad dan biaya untuk penyelesaiannya tidak dapat ditentukan secara rasional pada akhir periode laporan keuangan, maka digunakan metode akad selesai dengan ketentuan sbb.:

  1. tidak ada pendapatan istishna yang diakui sampai pekerjaan tersebut selesai;
  2. tidak ada harga pokok istishna yang diakui sampai pekerjaan tersebut selesai;
  3. tidak ada bagian keuntungan yang diakui dalam istishna dalam penyelesaian sampai pekerjaan tersebut selesai; dan
  4. pengakuan pendapatan istishna, harga pokok istishna, dan keuntungan dilakukan hanya pada akhir penyelesaian pekerjaan.

Penyelesaian Awal

Jika pembeli akhir melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo dan bank memberikan potongan, maka bank menghapus sebagian keuntungannya sebagai akibat penyelesaian awal tersebut. Penghapusan sebagian keuntungan akibat penyelesaian awal piutang istishna dapat diperlakukan sebagai:

  1. potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang istishna pada saat pembayaran; atau
  2. penggantian (reimbursement) kepada pembeli sebesar jumlah keuntungan yang dihapuskan tersebut setelah menerima pembayaran piutang istishna secara keseluruhan.

Perubahan Pesanan dan Klaim Tambahan

Pengukuran perubahan pesanan dan klaim tambahan adalah sbb.:

  1. nilai dan biaya akibat perubahan pesanan yang disepakati oleh bank dan pembeli akhir ditambahkan kepada pendapatan istishna dan biaya istishna;
  2. jika kondisi pengenaan klaim tambahan yang dipersyaratkan dipenuhi, maka jumlah biaya tambahan yang diakibatkan oleh setiap klaim akan menambah biaya istishna, sehingga pendapatan istishna akan berkurang sebesar jumlah penambahan biaya akibat klaim tambahan;
  3. perlakuan akuntansi (a) dan (b) juga berlaku pada istishna paralel, akan tetapi biaya perubahan pesanan dan klaim tambahan ditentukan oleh sub-kontraktor dan disetujui bank berdasarkan akad istishna paralel.

Biaya Pemeliharaan dan Penjaminan Barang Pesanan

Beban pemeliharaan dan penjaminan barang pesanan diakui pada saat terjadinya dan diperhitungkan dengan pendapatan istishna.Bank sebagai Pembeli

Transaksi

Penjual (Supplier)

Pembeli (Pemesan)

1. Pemesanan Barang; pembayaran di muka

KAS : Rp. xxx -------

HUTANG ISTISHNA’ : ------ Rp xxx

PIUTANG ISTISHNA’ : Rp. xxx -------

KAS : ------ Rp xxx

2. Supplier membeli barang pesanan

BARANG ISTISHNA’ : Rp. xxx -----

KAS : ------- Rp xxx

Tidak menjurnal

3. Penyerahan barang ke pembeli/pemesan; sekaligus penyelesaian pembayarannya.

HUTANG ISTISHNA’ : Rp. xxx ------

KAS : Rp. xxx ------

PENJUALAN ISTISHNA’: ---- Rp xxx

BARANG : Rp. xxx -----

PIUTANG ISTISHNA’: ----- Rp. xxx

KAS : ----- Rp xxx

HPP : Rp. xxx ------

BARANG ISTISHNA’: ------ Rp. xxx

Bank mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna kepada penjual.

Apabila barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalaian atau kesalahan penjual dan mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Apabila kerugian tersebut melebihi garansi penyelesaian proyek, amaka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada sub-kontraktor.

Jika bank menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak dapat memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada sub-kontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada sub-kontraktor.

Jika bank menerima barang pesanan yang tidak sesuai spesifikasi, maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.

Dalam istishna paralel, jika pembeli akhir menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan

ISTISHNA’ Paralel à Bank Syariah merangkap fungsi sebagai “penjual” sekaligus “pembeli”. Menjual kepada pemesan, membeli dari supplier, keduanya secara ISTISHNA’.

Selengkapnya...